Saat itu kelompok kami (4 lelaki dan 2 perempuan) melakukan pendakian
gunung. Rencananya kami akan merayakan pergantian tahun baru di sana.
Sampai di tempat yang kami tuju hari telah sore, kami segera mendirikan
tenda di tempat yang strategis. Setelah semuanya selesai, kami sepakat
bahwa tiga orang lelaki harus mencari kayu bakar, sisanya tetap tinggal
di perkemahan. Aku, Robby, dan Doni memilih mencari kayu bakar,
sedangkan Fadli, Lia dan Wulan tetap tinggal di tenda. Baru beberapa
langkah kami beranjak pergi, tiba-tiba Wulan memanggil kami, katanya dia
ingin ikut kelompok kami saja (alasannya masuk akal, dia tidak enak
hati sebab Fadli adalah pacar Lia, dan Wulan tidak ingin kehadirannya di
tenda mengganggu acara mereka). Karena Fadli dan Lia tidak keberatan
ditinggal berdua, kami (Robby, Doni, aku dan Wulan) segera melanjutkan
perjalanan.
Ada beberapa hal yang perlu aku ceritakan kepada pembaca tentang dua
orang teman wanita kami. Lia sifatnya sangat lembut, dewasa, pendiam
dan keibuan. Sifat ini bertolak belakang dengan Wulan. Mungkin karena
dia anak bungsu dan ketiga kakaknya semua lelaki, jadi Wulan sangat
manja, tapi terkadang tomboy. Tapi di balik semua itu, kami semua
mengakui bahwa Wulan sangat cantik, bahkan lebih cantik dari Lia.
Tidak berapa lama, sampailah kami pada tempat yang dituju, lalu kami
mulai mengumpulkan ranting-ranting kering. Sambil mengumpulkan ranting,
kami membicarakan apa yang sedang dilakukan Fadli dan Lia di dalam
tenda. Tentu saja pembicaraan kami menjurus kepada hal-hal porno.
Setelah cukup apa yang kami cari, Robby mengusulkan singgah mandi dulu
ke sungai yang tidak berapa jauh dari tempat kami berada. Wulan boleh
ikut, tapi harus menunggu di atas tebing sungai sementara kami bertiga
mandi. Wulan setuju saja. Singkat kata, sampailah kami pada sungai yang
dituju. Aku, Robby dan Doni turun ke sungai, lalu mandi di situ. Wulan
kami suruh duduk di atas tebing dan jangan sekali-kali mengintip kami.
Ketika sedang asyik-asyiknya kami berkubang di air, tiba-tiba kami
mendengar Wulan menjerit karena terjatuh dari atas tebing. Tubuhnya
menggelinding sampai akhirnya ia tercebur ke dalam air. Cepat-cepat
kami berlari mencoba menyelamatkan Wulan (kami mandi hanya menanggalkan
baju dan celana panjang, sedangkan celana dalam tetap kami pakai).
Robby yang pandai berenang segera menjemput Wulan, lalu menariknya dari
air menuju tepi sungai. Aku dan Doni menunggu di atas. Sampai di tepi
sungai, tubuh Wulan basah kuyup. Sepintas kulihat lengan Robby
menyentuh buah dada Wulan. Karena Wulan memakai T-Shirt basah, aku
dapat melihat dengan jelas lekuk-lekuk tubuh Wulan yang sangat
menggairahkan.
Wulan merintih memegangi lutut kanannya. Aku dan Doni terpaku tidak
tahu apa yang harus kami lakukan, tapi Robby yang pernah ikut kegiatan
penyelamatan dengan sigap membuka ikat pinggang Wulan lalu mencopot
celana jeans Wulan sampai lutut. Wulan berteriak sambil mempertahankan
celananya agar tidak melorot. Sungguh, saat itu aku tidak tahu apa
sebenarnya yang hendak Robby lakukan terhadap Wulan. Segalanya berjalan
begitu cepat dan aku tidak menyimpan tuduhan negatif terhadap Robby.
Aku hanya menduga, Robby hendak memeriksa luka Wulan. Tapi dengan
melorotnya jeans Wulan sampai ke lutut, kami dapat melihat dengan jelas
celana dalam wulan yang berwarna off-white (putih kecoklatan) dan
berenda. Kontan penisku bangun.
Robby memerintahkan aku dan Doni memegangi kedua tangan Wulan. Seperti
dihipnotis, kami menurut saja. Wulan semakin meronta sambil menghardik,
"Rob, apa-apaan sih.., Lepas.., lepas! Atau saya teriak".
Doni secepat kilat membungkam mulut Wulan dengan kedua telapak
tangannya. Robby setelah berhasil mencopot celana jeans Wulan, sekarang
mencoba mencopot celana dalam Wulan. Sampai detik ini, akhirnya aku
tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Aku tidak berani melarang
Robby dan Doni, karena selain aku sudah merasa terlibat, aku juga
sangat terangsang saat melihat kemaluan Wulan yang lebat ditumbuhi
rambut-rambut hitam keriting.
Wulan semakin meronta dan mencoba berteriak, tapi cengkeraman tanganku
dan bungkaman Doni membuat usahanya sia-sia belaka. Robby segera
berlutut di antara kedua belah paha Wulan. Tangan kirinya menekan perut
Wulan, tangan kanannya membimbing penisnya menuju kemaluan Wulan.
Wulan semakin meronta, membuat Robby kesulitan memasukkan penisnya ke
dalam lubang vaginanya. Doni mengambil inisiatif. Dia lalu duduk
mengangkangi tepat di atas dada Wulan sambil tangannya terus membungkam
mulut Wulan. Tiba-tiba Wulan berteriak keras sekali. Rupanya Robby
berhasil merobek selaput dara Wulan dengan penisnya. Secara cepat Robby
menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur. Untuk beberapa menit
lamanya Wulan meronta, sampai akhirnya dia diam pasrah. Yang dia
lakukan hanya menangis terisak-isak.
Doni melepaskan telapak tangannya dari mulut Wulan karena dia merasa
Wulan tidak akan berteriak lagi. Lalu dia mencoba menarik T-Shirt Wulan
ke atas. Di luar dugaan, Wulan kali ini tidak mengadakan perlawanan,
hingga Doni dan aku dapat melepaskan T-Shirt dan BH-nya. Luar biasa,
tubuh Wulan dalam keadaan telanjang bulat sangat membangkitkan birahi.
Tubuhnya mulus, dan buah dadanya sangat montok. Mungkin ukurannya 36B.
Doni segera menjilati puting susu Wulan, sementara aku melihat Robby
semakin kesetanan mengoyak-ngoyak vagina Wulan yang beberapa saat yang
lalu masih perawan. Aku sangat terangsang, lalu aku mulai memaksa
mencium bibir Wulan. Ugh, nikmat sekali bibirnya yang dingin dan lembut
itu. Aku melumat bibirnya dengan sangat bernafsu. Aku tidak tahu apa
yang sedang Wulan rasakan. Aku hanya melihat, matanya polos menerawang
jauh langit di atas sana yang menguning pertanda malam akan segera
tiba. Tangisnya sudah agak mereda, tapi aku masih dapat mendengar isak
tangisnya yang tidak sekeras tadi. Mungkin dia sudah sangat putus asa,
shock, atau mungkin juga menikmati perlakuan kasar kami.
Tiba-tiba aku mendengar Robby menjerit tertahan. Tubuhnya mengejang.
Dia menyemprotkan sperma banyak sekali ke dalam vagina Wulan. Setengah
menit kemudian Robby beranjak pergi dari tubuh Wulan lalu tergeletak
kelelahan di samping kami. Doni menyuruhku mengambil giliran kedua. Aku
bangkit menuju Vagina Wulan. Sepintas aku melihat sperma Robby
mengalir ke luar dari mulut vagina Wulan. Warnanya putih kemerahan.
Rupanya bercak-bercak merah itu berasal dari darah selaput dara (hymen)
Wulan yang robek. Tanpa kesulitan aku berhasil memasukkan penis ke
dalam vaginanya. Rasanya nikmat sekali. Licin dan hangat bercampur
menjadi satu. Dengan cepat aku mengocok-ngocok penisku maju mundur. Aku
mendekap tubuh Wulan. Payudaranya beradu dengan dadaku. Dengan ganas
aku melumat bibir Wulan. Doni dan Robby menyaksikan atraksiku dari
jarak dua meter. Beberapa menit kemudian aku merasakan penisku sangat
tegang dan berdenyut-denyut. Aku sudah mencoba menahan agar ejakulasi
dapat diperlama, tapi sia-sia. Spermaku keluar banyak sekali di dalam
vagina Wulan. Aku peluk erat Tubuh Wulan sampai dia tidak dapat
bernafas.
Setelah puas, aku berikan giliran berikutnya kepada Doni. Aku lalu
duduk di samping Robby memandangi Doni yang dengan sangat bernafsu
menikmati tubuh Wulan. Karena lelah, kurebahkan tubuhku telentang
sambil memandangi langit yang semakin menggelap.
Beberapa menit kemudian Doni ejakulasi di dalam vagina. Setelah Doni
puas, ternyata Robby bangkit kembali nafsunya. Dia menghampiri Wulan.
Tapi kali ini dia malah membalikkan tubuh Wulan hingga tengkurap. Aku
tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ternyata Robby hendak melakukan
anal seks. Wulan menjerit saat anusnya ditembus penis Robby. Mendengar
itu Robby malah semakin kesetanan. Dia menjambak rambut Wulan ke
belakang hingga muka Wulan menengadah ke atas. Dengan sigap Doni
menghampiri tubuh Wulan. Aku melihat Doni dengan sangat kasar
meremas-remas buah dada Wulan. Wulan mengiba, "Aduhh..., sudah dong
Ro..., ampun..., sakit Rob". Tapi Robby dan Doni tidak menghiraukannya.
"Oh, sempit sekali", teriak Robby mengomentari lubang dubur Wulan yang
lebih sempit dari vaginanya. Setiap Robby menarik penisnya aku lihat
dubur Wulan monyong. Sebaliknya saat Robby menusukkan penisnya, dubur
Wulan menjadi kempot. Tidak lama, Robby mengalami ejakulasi yang kedua
kalinya. Setelah puas, sekarang giliran Doni menyodomi Wulan. Melihat
itu aku jadi kasihan juga terhadap Wulan. Di matanya aku melihat beban
penderitaan yang amat berat, tapi sekaligus aku juga melihat sisa-sisa
ketegarannya menghadapi perlakuan ini.
Setelah Doni puas, Robby dan Doni menyuruhku menikmati tubuh Wulan.
Tapi tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatiku. Aku katakan bahwa aku
sudah sangat lelah dan hari sudah menjelang gelap. Kami sepakat kembali
ke perkemahan. Robby dan Doni segera berpakaian lalu beranjak
meninggalkan kami sambil menenteng kayu bakar. Wulan dengan
tertatih-tatih mengambil celana dalam, jeans, lalu mengenakannya. Aku
tanyakan apakah Wulan mau mandi dulu, dan dia hanya menggeleng. Dalam
keremangan senja aku masih dapat melihat matanya yang indah
berkaca-kaca. Kuambil T-Shirtnya. Karena basah, aku mengepak-ngepakkan
agar lebih kering, lalu aku berikan T-Shirt itu bersama-sama dengan
BH-nya. Robby dan Doni menunggu kami di atas tebing sungai. Setelah
Wulan dan aku lengkap berpakaian, kami beranjak pergi meninggalkan
tempat itu. Robby dan Doni berjalan tujuh meter di depanku dan Wulan.
Di perkemahan, Fadli dan Lia menunggu kami dengan cemas. Lalu kami
mengarang cerita agar peristiwa itu tidak menyebar. Untunglah Fadli dan
Lia percaya, dan Wulan hanya diam saja.
Tepat tengah malam di saat orang lain merayakan pergantian tahun baru,
kami melewatinya dengan hambar. Tidak banyak keceriaan kala itu. Kami
lebih banyak diam, walau Fadli berusaha mencairkan keheningan malam
dengan gitarnya.
Esoknya, pagi-pagi sekali Wulan minta segera pulang. Kami maklum lalu
segera membongkar tenda. Untunglah sesampainya di kota kami, Wulan
merahasiakan peristiwa ini. Tapi tiga bulan berikutnya Wulan
menghubungiku dan dia dengan memohon meminta aku bertanggung jawab atas
kehamilannya. Aku sempat kaget karena belum tentu anak yang
dikandungnya itu adalah anakku. Tapi raut wajahnya yang sangat mengiba,
membuatku kasihan lalu menyanggupi menikahinya.
Satu bulan berikutnya kami resmi menikah. Wulan minta agar aku
memboyongnya meninggalkan kota ini dan mencari pekerjaan di kota lain.
Sekarang "anak kami" sudah dapat berjalan. Lucu sekali. Matanya indah
seperti mata ibunya. Kadang terpikir untuk mengetahui anak siapa
sebenarnya "anak kami" ini. Tapi kemudian aku menguburnya dalam-dalam.
Aku khawatir kebahagiaan rumah tangga kami akan hancur bila ternyata
kenyataan pahitlah yang kami dapati.
Akhir Desember 1997 kami menikmati pergantian tahun baru di rumah saja.
Peristiwa ini kembali menguak kenangan buruknya. Matanya berkaca-kaca.
Aku memeluk dan membelai rambutnya. Beberapa menit kemudian, dalam
dekapanku dia mengaku bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, sebenarnya
dia sudah jatuh cinta padaku. Dia ikut mencari kayu bakar karena dia
ingin bisa dekat denganku.
Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Pengakuannya ini membuat hatiku pedih tak te
Senin, 06 Agustus 2012
Di Tepi Sungai Itu Menjadi Hal Yang terindah
07.27
Unknown